Jumaat, 25 Disember 2009

Abdullah Bin Ummi Maktum : Pahlawan buta yang membawa panji ke tengah-tengah medan pertempuran

Dalam sejarah Islam dia dikenal memiliki ilmu dan adab istimewa yang dikaruniakan oleh Allah kepada dia, menggantikan kebutaan matanya, sebagai cahaya

dalam pandangan dan pancaran di hati. Sehingga dia dapat melihat dengan mata hati apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain. Hatinya dapat mengintip apa yang tersembunyi. Bila Rasulullah saw pergi ke berbagai medan peperangan, dia selalu ditunjuk menjadi wakil beliau di Madinah, mengimami shalat jamaah di mihrab beliau, dan berdiam di sebelah kiri mimbar dengan penuh khusyu'.



Tidak seberapa lama awal sejarah Islam di Mekah, Ibnu Ummi Maktum memperoleh hidayah hatinya untuk bergabung bersama orang-orang yang telah masuk Islam pada masa permulaan. Ketika itu dia masih muda belia, dan hatinya merasakan betul manisnya keimanan. Menginjak masa dewasa dia merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan hatinya bersih, sehingga walaupun matanya buta namun dia tidak mendapatkan hal itu kecuali sebagai nikmat besar yang dikaruniakan oleh Allah kepada dirinya. Dimana dengan sebab itu Allah memberi kemampuan memandang ajaran kebenaran dengan pancaran mata hatinya. Di sini, dia dapat memahami makna yang hakiki dari firman Allah— yang artinya: Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi hati yang di dalam dada.”

Kemudian, timbul keyakinan di dalam hati Ibnu Ummi Maktum bahwa Allah memberi dia keistimewaan, yaitu keistimewaan yang diberikan juga kepada orang-orang buta seperti dia atas manusia lainnya, bahwa dia akan membalas mereka dengan pahala surga. Yang demikian itu tatkala dia mendengar hadist berikut:

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Sesungguhnya Jibril datang kepada Rasulullah saw, yang ketika itu Ibnu Ummi Maktum sedang bersama beliau”. Dia lalu bertanya, “Sejak kapankah pandanganmu buta?” Jawabnya, “Sejak aku kecil”. Dia berkata, “Firman Allah swt: Jika aku mengambil suatu kemuliaan seorang hamba niscaya AKU tidak akan memberi dia pengganti selain pahala syurga...”

Ibnu Ummi Maktum mempunyai perasaan yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang waktu fajar, dengan perasaan jiwa yang segar dia keluar dari rumahnya dengan bertopang pada tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang dari kaum Muslimin untuk mengumandangkan adzan di masjid Rasul. Dia selalu bergantian adzan bersama Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari mereka berdua adzan maka yang satunya bertindak mengumandangkan iqamat. Akan tetapi Bilal mengumandangkan adzan semalam untuk membangunkan kaum Muslimin, sedangkan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkannya waktu subuh. Sehingga, karenanya Rasulullah saw bersabda, “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan...”

Allah telah memuliakan Ibnu Ummi Maktum, yang mana Dia menegur Nabi saw karenanya. Yaitu ketika Nabi sedang duduk bersama beberapa orang Qurais yang diantara mereka terdapat Uqbah bin Rabi'ah dan beberapa orang tokoh lainnya. Beliau bersabda, “Tidakkah baik sekiranya kamu datang dengan begini dan begini?”

Kata mereka, “Benar.”

Tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum datang menanyakan tentang sesuatu kepada beliau dan beliau mengelak karena sangat sibuk berbicara dengan mereka. Lalu, Allah menurunkan ayat yang berbunyi: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya —yakni Ibnu Ummi Maktum. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup—yakni Ukbah dan kawan-kawannya—maka kamu melayaninya. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah) maka kamu mengabaikannya—yakni Ibnu Ummi Maktum...”

Sewaktu ayat ini turun Rasulullah lantas memanggil Ibnu Ummi Maktum dan memberi dia suatu kehormatan dengan menunjuknya sebagai wakil beliau di Madinah pada saat beliau menghadapi peperangan untuk yang pertama kalinya.

Karena itu pula maka Ibnu Ummi Maktum memiliki kedudukan tinggi di kalangan penduduk Madinah. Apalagi dia seorang sahabat yang paling banyak menghafal ayat al-Qur'an, sebagaimana pula banyak hafal hadist-hadist Rasulullah. Lain dari pada itu Ibnu Ummi Maktum bercita-cita untuk dapat mengikuti jihad di medan peperangan walaupun matanya buta. Dia menyampaikan keinginannya itu kepada sahabat-sahabat Rasulullah. Tentu saja para sahabat mereka merasa amat senang karena keutamaan yang dimiliki Ibnu Ummi Maktum.

Suatu kali Ibnu Ummi Maktum merasa sangat sedih dan pilu hatinya tatkala turun wahyu kepada Rasulullah yang berbunyi, “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang).”

Ibnu Ummi Maktum berkata, “Ya, Tuhanku! Engkau memberiku ujian begini, bagaimana aku dapat berbuat...??”

Kemudian turunlah ayat—yang berbunyi, “Selain yang mempunyai udzur...”

Penghormatan macam apakah gerangan yang lebih tinggi dari penghormatan serupa ini, dimana wahyu dua kali diturunkan lantaran persoalan Ibnu Ummi Maktum; yang pertama merupakan teguran kepada Nabi saw, dan yang kedua ketentuan berperang bagi orang yang mampu dan yang berhalangan, termasuk diantaranya adalah Ibnu Ummi Maktum.

Namun demikian, Ibnu Ummi Maktum tetap kuat hasratnya untuk dapat berperang bersama barisan kaum mujahidin. Dia telah mengutarakan hasratnya ini hingga berkali-kali. Kata dia kepada sahabat-sahabat Rasulullah, “Serahkanlah panji kepadaku, karena sesungguhnya aku adalah seorang buta sehingga tidak akan dapat melarikan diri! Tempatkanlah aku di antara kedua pasukan!”

Sang sahabat mulia dan agung ini tidak berakhir hayatnya sebelum Allah mengabulkan hasrat hatinya tersebut. Pada saat perang Qadisiyah dia sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dialah seorang buta pertama yang turut berperang dalam sejarah peperangan Islam.

Sejarah tadi tertunduk di hadapan perjalanan hidup laki-laki yang agung ini. Betapa sedikit dan jarang sekali seseorang tercatat demikian kehidupannya oleh sejarah.




Tiada ulasan:

Catat Ulasan